Cerpen bertema harapan

                                  Hope

      Masih percayakah kalian pada bintang jatuh? Tentang keajaibannya yang apabila kita menyampaikan harapan saat bintang jatuh, maka harapan itu akan terwujud.
      Aku percaya tapi belum sepenuhnya. Dulu aku pernah mengharapkan dua hal saat melihat bintang jatuh yang sebenarnya hanyalah komet. "Tita, lihat, ada bintang jatuh," ucap Lusi, sahabatku, sembari menunjuk langit malam penuh semangat.Aku mengikuti arah jarinya.Aku melihat guratan cahaya lewat di atas sana. "Ayo make a wish, Ta!" ujar Lusi lagi kali ini menggenggamkan tanganya sendiri di depan wajah dan menutup mata. Aku mengikuti caranya mengharap.

Aku harap nilai ujianku bagus. Dannn, aku ingin suatu saat dia jadi jodohku.
Aamiin.
     
       Setelah mengatakan keinginanku, aku membuka mata. Kulirik Lusi yang juga sudah membuka mata. Ia sedang asik memandangi bintang-bintang sekarang. Hari ini cerah, sangat cerah.
"Apa yang kamu minta?" tanyaku. "Aku cuma minta crayon yang besar. Yang aku lihat kemarin di mall denganmu," jawabnya sambil tersenyum sangat lebar.
      Aku ikut tersenyum. Permintaannya sangat polos, sesuai umur kami yang baru kelas enam sd. "Kalau kamu?" tanyanya membuatku kalap. Mana mungkin aku memberi tahu padanya aku meminta jodoh. Permintaanku tak sepolos permintaannya. "Em, aku mau nilai ujianku nanti bagus," jawabku yang juga tidak bohong. "Benar juga, kenapa aku tidak meminta itu," keluhnya menepuk jidatnya sendiri. Aku baru sadar, ternyata sahabatku ini memang sangat lugu dan polos. "Mana pernah kamu memikirkan nilai," ejekku sedikit terkekeh. Ia hanya mengerucutkan bibirnya.

Sebenarnya aku lebih menginginkan dia jadi jodohku.

      Keesokan harinya Lusi datang ke rumahku. Dia nampak sangat bersemangat. "Tita, aku baru saja membeli crayon yang aku inginkan. Lihat!" teriaknya yang masih berada di depan gerbang rumahku. Aku melihat crayon di tangan kanannya. Ya, itu crayon besar yang di inginkannya.
       Jadi, keinginannya terkabul. Lalu, bagaimana denganku nanti. "Wooo, ini sangat bagus," pujiku jujur. Dia tersenyum sangat senang. "Baru kemarin aku berharap, sekarang sudah terkabul. Terima kasih ya Allah," ucapnya tak hentinya bersyukur. "Aku jadi tidak sabar ujian," kataku penuh harap. "Ah, benar. Tapi aku yakin nilaimu akan bagus. Kau kan pintar," sahutnya. Aku tersenyum. Bukannya sombong, tapi kurasa dia memang benar. Nilaiku selalu bagus selama ini.
   Dua bulan setelah kejadian bintang jatuh itu, aku mendapatkan hasil ujianku. Sesuai harapan, aku mendapat nilai yang bagus, bahkan terbaik di kelas. Setelah terbukti harapanku terwujud, haruskah aku percaya sepenuhnya tentang bintang jatuh itu.
       Aku belum yakin, aku masih punya satu harapan yang belum terwujud. Lagi pula, nilaiku selalu bagus bukan. Kini pria yang aku harapkan akan menjadi jodohku itu muncul lagi. Setelah empat tahun lamanya. Ia masih sama, tampan dan mempesona. Kadang, aku masih berharap padanya. Tapi, apa dia juga mengharapkanku. "Hai," sapanya. "Hai," jawabku tersenyum semanis mungkin.
       "Kamu sombong sekali, kalau bertemu denganku sangat cuek," ujarnya seperti bercanda yang kurasa memang benar. "Maaf, aku hanya malu setiap bertemu denganmu," ungkapku jujur. Dia nampak terkejut, apa terlalu jelas kalau aku menyukainya. "Begitu, ya," ucapnya canggung. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya sedetik kemudian. "Aku baik, bagaimana denganmu?" ucapku ganti bertanya. "Seperti yang kau lihat, aku sangat baik," jawabnya tersenyum lebar. Aku mengangguk paham. Setelah empat tahun, rasa ini masih tersimpan. Meski pernah berkhianat, rasa ini dengan mudah kembali lagi. Masih sama seperti sebelumnya.
        Dan harapan itu, akankah jadi kenyataan. Mungkin memang ini saatnya aku mengungkapkan perasaanku padanya. Memendamnya selama empat tahun membuatku tak tahan lagi. "Fan, aku mau bilang sesuatu," ucapku serius, sebenarnya aku sangat gugup saat ini. "Iya?" jawabnya. "Tapi tolong jangan berkata apapun selama aku bicara. Jangan menyela, bagaimana?" aku membuat persyaratan mengantisipasi penolakan sebelum aku selesai berbicara.
       Fandi tampak berpikir sampai akhirnya mengangguk. Aku mulai membulatkan tekat. Inilah saatnya. "Sebenarnya aku juga menyukaimu. Bahkan sebelum kamu menyatakan perasaanmu padaku. Aku ingin membalasnya dan berkata aku juga menyukaimu saat itu. Tapi aku tidak seberani itu. Aku belum pernah merasakan apa itu cinta. Dan kamu yang pertama mendapatkannya, cintaku. Aku takut justru kita akan menjauh saat aku menerimamu dan kita mengalami konflik. Aku takut jauh darimu. Aku juga tidak siap dengan suatu hubungan. Aku belum siap. Bahkan sampai saat ini. Saat teman-temanku sudah berkali-kali merasakannya, aku masih belum siap," aku berhenti sejenak, melirik wajahnya.
       Tak ada tanda dia ingin menyela, aku pun melanjutkan pengakuanku. "Maafkan aku pernah mencampakanmu dan membuatmu merasa aku menggantungkanmu. Aku minta maaf, aku mencintaimu," aku meliriknya lagi. Ini adalah kata cinta yang pertama dariku untuk seseorang.
       Dia tampak ingin bicara. "Tunggu, Fandi. Aku belum selesai," cegahku sebelum ia mengangkat suara. "Aku tahu dari teman-temanku kamu juga sudah sering menjalin hubungan dengan orang lain. Aku paham. Kamu pasti lelah menungguku. Aku tahu kamu pasti sudah melupakanku saat ini. Aku tahu perasaan cintamu yang dulu kamu sampaikan padaku sudah hilang. Mungkin sekarang kamu juga sudah punya seorang kekasih, aku tidak berniat merusak hubunganmu dengan siapa pun itu. Aku hanya ingin mengungkapkan apa yang selama ini aku rasakan. Dari aku masih ingusan, saat sd hingga saat ini, saat aku sudah remaja dan berseragam putih abu. Aku tidak memaksamu menerima cintaku karena aku yakin kamu sakit hati padaku. Sudah itu saja yang mau aku bilang," aku menghela nafas lega.
      Unek-unekku selama ini sudah keluar walau dengan kata-kata yang cukup rumit dan berputar-putar. Aku memandang wajah lelaki di depanku. Ia sama sekali tidak nampak marah, tidak kecewa, tidak kesal. Tapi dia juga tidak nampak bahagia. Wajahnya datar tak berekspresi. Ini justru membuatku bingung. Ia hanya diam tak menadakan ingin bicara. Diamnya justru membuatku takut.

Satu detik
Dua detik
Tiga detik
Satu menit
Dua menit
Tiga menit
Empat menit

Dia masih diam.

Sampai akhirnya ia tersenyum di menit ke lima. Apa arti senyumannya itu?



Hello hello thanks udah baca gaes, buat hiburan aja ya, no copas please😁
aku selalu terima kritik dan saran kalian:)

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer